MATAINDONESIA.CO.ID, JAKARTA – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengungkap temuan praktik under invoicing pada ekspor minyak sawit yang dilakukan oleh ratusan Wajib Pajak (WP). Dari 282 WP yang diperiksa, sebanyak 25 eksportir teridentifikasi menggunakan modus pelaporan nilai transaksi lebih rendah dari harga sebenarnya, dengan potensi kerugian negara mencapai Rp140 miliar.
Temuan tersebut menjadi perhatian serius Komisi XI DPR RI. Anggota Komisi XI DPR RI, Puteri Komarudin, menyatakan dukungannya terhadap langkah Kemenkeu dalam menindak praktik under invoicing, sekaligus mendorong penguatan pengawasan perpajakan agar pelanggaran serupa tidak kembali terulang.
“Tentu kita sangat mendukung langkah tegas Kementerian Keuangan untuk memberantas praktik under invoicing. Namun yang juga penting adalah tindak lanjut terhadap Wajib Pajak yang terbukti melakukan pelanggaran ini, serta bagaimana Direktorat Jenderal Pajak memperkuat pengawasan di sektor-sektor dengan risiko tinggi,” ujar Puteri dalam Rapat Kerja Komisi XI bersama Kementerian Keuangan di Gedung Nusantara I, Senayan, Senin (8/12/2025).
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Puteri menekankan bahwa penguatan pengawasan tidak hanya bersifat penindakan, tetapi juga harus mengedepankan langkah preventif agar praktik serupa dapat dicegah sejak dini di tahun-tahun mendatang.
Menanggapi hal tersebut, Kementerian Keuangan menyampaikan bahwa pihaknya tengah melakukan peningkatan sistem teknologi informasi di bidang kepabeanan dan perpajakan. Langkah ini dilakukan untuk memastikan integrasi data lintas kementerian dan lembaga berjalan lebih optimal.
“Bea Cukai terus kita tingkatkan, termasuk seluruh sistem IT-nya. Kita sudah memiliki SIMBARA yang melibatkan ESDM, Bea Cukai, dan Pajak. Namun saat ini integrasinya belum sepenuhnya optimal. Karena itu, kami membentuk tim di Lembaga National Single Window (LNSW) untuk melakukan perbaikan secara berkelanjutan dan melaporkan progresnya setiap minggu,” ujar Purbaya.
Selain itu, Puteri Komarudin juga menyoroti modus penyelundupan barang antarwilayah yang memanfaatkan jalur ekspor, termasuk praktik kapal pengangkut yang berbelok ke luar negeri di tengah perjalanan.
“Modus seperti ini ternyata masih terjadi. Pemerintah telah merespons melalui PMK Nomor 50 Tahun 2024 yang mewajibkan kapal pengangkut barang menyalakan Automatic Identification System (AIS) agar dapat dipantau, serta mengatur penggunaan dokumen elektronik supaya proses pengawasan lebih cepat dan tertib,” jelasnya.
Puteri menegaskan pentingnya evaluasi terhadap efektivitas penerapan kebijakan tersebut agar pengawasan ekspor semakin transparan, akuntabel, dan mampu melindungi penerimaan negara dari praktik-praktik yang merugikan.












