MATAINDONESIA.CO.ID, Jakarta – Kepolisian Polda Metro Jaya mengungkap sejumlah temuan penting terkait kasus ledakan yang terjadi di Masjid SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, pada Jumat (7/11). Insiden yang terjadi saat khotbah Salat Jumat tersebut menimbulkan 96 korban luka dan mengejutkan publik, terutama setelah diketahui bahwa pelaku adalah anak berkonflik dengan hukum (ABH).
Keluarga pelaku disebutkan sangat terkejut mengetahui rangkaian siasat dan persiapan yang dilakukan pelaku sebelum menjalankan aksinya. Peristiwa ini kembali menegaskan urgensi pengawasan psikososial terhadap anak dan remaja, serta perlunya sistem deteksi dini di lingkungan sekolah.
Dalam konferensi pers yang dipimpin Dansat Brimob Polda Metro Jaya Kombes Henik Maryanto, aparat menjelaskan struktur dan komponen yang ditemukan dari lokasi ledakan. Berdasarkan hasil analisis laboratorium forensik, polisi menyimpulkan bahwa:
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
-
Bahan kimia yang terdeteksi dalam sisa peledakan adalah potassium chloride.
-
Serpihan plastik ditemukan sebagai pembungkus rangkaian peledak.
-
Paku baja dan paku seng ditemukan berserakan di masjid, menunjukkan bahwa unsur tersebut digunakan untuk memperbesar efek kerusakan.
-
Empat baterai A4 diduga menjadi sumber tenaga pemicu.
-
Inisiator berbasis listrik ditemukan, namun remote yang diduga digunakan untuk pengendalian tidak ditemukan di lokasi.
Kombes Henik menjelaskan bahwa temuan tersebut menjadi dasar rekonstruksi awal mengenai cara kerja perangkat. Namun, seluruh detail teknis sensitif tetap dibatasi agar tidak disalahgunakan.
Respons dan Kejutan Keluarga Pelaku
Keluarga pelaku mengaku tidak mengetahui sedikit pun aktivitas mencurigakan sebelumnya. Fakta bahwa seorang anak mampu membuat siasat sedemikian rupa menambah keprihatinan publik. Para ahli psikologi anak menilai bahwa kasus seperti ini tak pernah terjadi secara tiba-tiba; selalu ada faktor eksternal yang mempengaruhi perilaku.
Kasus ini dikhawatirkan menjadi preseden bagi isu keamanan sekolah di wilayah perkotaan. Pemerhati pendidikan dan organisasi masyarakat sipil mendorong:
-
Peningkatan pengawasan di sekolah, terutama ruang publik seperti masjid, lapangan, dan aula.
-
Pendampingan psikologis rutin untuk siswa berisiko.
-
Keterlibatan orang tua dan wali dalam edukasi keamanan dan penggunaan media digital.
-
Sistem pengaduan dini ketika siswa menunjukkan perubahan perilaku signifikan.












