MATAINDONESIA.CO.ID, JAKARTA — Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio (Hensa) menyoroti pesatnya digitalisasi layanan publik di Indonesia yang semakin mengandalkan teknologi berbasis online. Meski mengapresiasi kemajuan ini, ia juga mempertanyakan kesiapan negara dalam menghadapi ancaman keamanan siber yang semakin kompleks.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah pengguna internet terbesar di dunia. Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2023 tercatat lebih dari 221 juta pengguna internet. Angka ini mencerminkan potensi besar bagi pertumbuhan ekonomi digital, tetapi di sisi lain juga menghadirkan tantangan besar dalam menjaga keamanan siber.
“Keren sih banyak layanan sudah berbasis online saat ini, tapi emangnya keamanan siber kita sudah lebih bagus juga?” ujar Hensa kepada wartawan, mengungkapkan kekhawatirannya terhadap ketahanan siber Indonesia.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurutnya, pemerintah memang tengah gencar mendorong digitalisasi di berbagai sektor, salah satunya yang sedang banyak diperbincangkan adalah sistem coretax milik Direktorat Jenderal Pajak. Namun, ia menilai upaya ini belum dibarengi dengan regulasi keamanan siber yang kuat.
“Kejadian peretasan Pusat Data Nasional di Surabaya seharusnya menjadi pelajaran berharga. Ini momentum yang tepat untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Keamanan dan Ketahanan Siber (RUU KKS) ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2025,” tegas Hensa.
Sebagai perbandingan, ia menyoroti bagaimana negara lain telah lebih dahulu memiliki regulasi khusus dalam melindungi infrastruktur digital mereka. Singapura, misalnya, sudah menerapkan Cybersecurity Act 2018 yang memberikan kewenangan luas kepada Badan Keamanan Siber Singapura (CSA) dalam mengawasi infrastruktur kritis dan menangani serangan siber secara cepat. Malaysia juga memiliki kebijakan National Cyber Security Policy yang memastikan kesiapsiagaan siber secara nasional. Sementara itu, di Amerika Serikat, Cybersecurity and Infrastructure Security Agency (CISA) bertugas melindungi aset-aset penting nasional dengan strategi pencegahan dan mitigasi sejak tahap awal.
Hal ini, lanjut Hensa, berbeda dengan Indonesia yang sering kali baru memikirkan desain keamanan siber setelah sebuah proyek digital diluncurkan. “Kalau sistem buatan pemerintah tidak dirancang dengan standar keamanan sejak awal, besar kemungkinan akan muncul masalah di kemudian hari. Contohnya bisa saja terjadi pada sistem coretax Dirjen Pajak yang sekarang sedang dikembangkan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Hensa menekankan bahwa kehadiran regulasi yang kuat dalam bidang keamanan siber juga akan berkontribusi pada peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap digitalisasi layanan publik. Menurutnya, masyarakat akan lebih yakin menggunakan layanan digital jika sistemnya terjamin keamanannya.
“Keamanan siber yang kuat bukan hanya melindungi infrastruktur digital, tetapi juga bisa menjadi faktor yang menarik bagi investasi asing. Kita bisa belajar dari Estonia yang memiliki sistem keamanan siber sangat baik, sehingga banyak investor merasa aman saat berbisnis di sana,” jelas pendiri Lembaga Survei KedaiKOPI tersebut. (ki)