Jakarta – MataIndonesia. Ketegangan dagang antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat dan China, menunjukkan titik terang. Setelah bertahun-tahun saling balas menaikkan tarif impor, kedua negara menyepakati kemajuan substansial dalam perundingan bilateral yang berlangsung tertutup di Jenewa, Swiss, sejak akhir pekan lalu.
Pertemuan yang berlangsung di kediaman Duta Besar Swiss untuk PBB itu menghadirkan Menteri Keuangan AS Scott Bessent, Perwakilan Perdagangan Jamieson Greer, serta Wakil Perdana Menteri China He Lifeng. Ini adalah pertemuan tatap muka tingkat tinggi pertama sejak Presiden Donald Trump menerapkan tarif impor China hingga 245% pada beberapa komoditas.
“Kami telah membuat kemajuan substansial antara Amerika Serikat dan Tiongkok dalam pembicaraan dagang yang sangat penting,” ujar Bessent kepada wartawan, Minggu (11/5/2025). Ia menambahkan bahwa hasil rinci pembicaraan akan diumumkan Senin waktu setempat.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Senada, He Lifeng menggambarkan pertemuan sebagai langkah awal yang penting. “Diskusinya terus terang, mendalam, dan konstruktif,” ucapnya. Pernyataan ini diamini oleh perwakilan perdagangan internasional China, Li Chenggang, yang menyebut kedua negara sepakat membentuk mekanisme komunikasi bersama untuk membahas isu perdagangan secara rutin dan insidental.
Dari Perang Tarif ke Jalur Diplomasi
Langkah diplomatik ini menjadi titik balik setelah bertahun-tahun perang dagang yang diawali kebijakan unilateral Trump. Ketika itu, AS mengenakan tarif hingga 145% terhadap barang-barang China, yang dibalas dengan tarif 125% oleh Beijing.
Namun, sinyal perubahan arah terlihat sejak awal Mei, saat Trump menyatakan keinginannya untuk menurunkan tarif China ke level “ideal” sebesar 80%. Ia juga menyambut antusias pertemuan Jenewa, dengan menyebutnya sebagai “kemajuan hebat” dalam unggahan di Truth Social.
“Untuk kebaikan bersama, kami ingin melihat keterbukaan China terhadap bisnis Amerika,” ujarnya.
Langkah ini menyusul keberhasilan AS menandatangani kesepakatan dagang dengan Inggris, berisi keringanan bea masuk meski tetap mempertahankan tarif dasar 10%.
Gurita Perdagangan China dan Kekhawatiran AS
Perubahan sikap AS terhadap China tidak lepas dari kenyataan bahwa dominasi dagang China makin sulit dibendung. Dalam dua dekade terakhir, nilai perdagangan China tumbuh lebih dari 1.200%, jauh mengungguli pertumbuhan perdagangan AS yang hanya 167% pada periode sama.
Pada 2024, nilai perdagangan global China mencapai US$ 6,2 triliun, melewati AS yang mencatat US$ 5,3 triliun. China pun menjadi mitra dagang utama bagi mayoritas negara di Asia, Afrika, hingga Amerika Latin.
Indonesia termasuk di antaranya. Nilai perdagangan RI–China melesat dari US$ 7,46 miliar pada 2000 menjadi US$ 147,99 miliar pada 2024, sementara nilai dagang dengan AS hanya tumbuh sekitar 200%.
Transformasi ini mencerminkan bagaimana China beralih dari pemain regional menjadi kekuatan perdagangan global, didukung industrialisasi masif, investasi infrastruktur, dan penetrasi ke berbagai rantai pasok dunia.
Langkah Selanjutnya: Damai Dagang atau Gencatan Sementara?
Meski pertemuan Jenewa disebut produktif, para pengamat menilai hasilnya masih harus diuji dalam implementasi kebijakan di lapangan. Mekanisme komunikasi bersama yang dibentuk menjadi indikator penting apakah ini awal dari perdamaian dagang jangka panjang atau sekadar gencatan senjata sementara.
Namun satu hal yang pasti, langkah ini menjadi sorotan global. Dunia menanti apakah dua kekuatan ekonomi terbesar dunia ini akan menata ulang hubungan mereka dari konfrontasi menjadi kolaborasi.