MATAINDONESIA.CO.ID, FAKFAK — Kunjungan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia di Fakfak, Papua Barat, menyisakan pemandangan berbeda dari biasanya. Bahlil tampak duduk di balik kemudi sebuah angkot putih tua, sebuah Suzuki Carry bernomor PB 7241 F, yang membawanya kembali pada kenangan masa muda saat ia pernah bekerja sebagai sopir angkot.
Sambil menatap dashboard mobil itu, Bahlil tersenyum kecil. Ketika seseorang bertanya apakah bentuk angkot tersebut sama seperti yang dulu ia bawa, ia menjawab singkat, “Yang dulu agak lebih gede.”
Di kursi penumpang, seorang sopir angkot bernama Dino yang mengenal Bahlil sejak lama ikut naik. Suasananya sempat kikuk, namun segera mencair ketika Bahlil menggoda rekannya itu. “Dino, coba tes kau pu taksi. Coba seperti kenek dulu. Saya mau lihat setengah kopling setengah gas,” ujarnya sambil menahan tawa.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tak lama kemudian, dari pintu angkot terdengar suara khas yang dulu mewarnai jalanan Fakfak. “Kota kota kota kotaaa…!” Seruan itu membuat warga yang melintas tersenyum, seolah melihat dua pria dewasa kembali menjadi remaja dengan kenangan lama yang hidup kembali.
Angkot yang dikemudikan Bahlil melaju pelan menuju Terminal Tumburuni. Warga yang menyaksikan dari pinggir jalan ikut larut dalam suasana hangat yang jarang terlihat dalam kunjungan pejabat. Kesederhanaan itu terasa tulus, menghadirkan nostalgia yang apa adanya.
Dalam perjalanan, Bahlil sempat mengenang masa sulitnya. “Dulu, makan aja susah,” katanya lirih. Ia menegaskan bahwa dulu ia hanyalah sopir, bukan pemilik angkot, sebuah pengingat bahwa perjalanan hidupnya dimulai dari bawah.
Meski sudah lama tidak mengemudi angkot, ketangkasan Bahlil masih terlihat. Teknik setengah kopling dan setengah gas dilakukan natural, seperti masa ketika ia masih sekolah di Fakfak dan bekerja untuk mencukupi kebutuhan hidup serta biaya pendidikan.
Menjelang turun dari mobil, Bahlil menoleh kepada seorang sopir angkot lainnya. “Feeling masih dapat?” tanyanya. Sopir tersebut menjawab mantap, “Masih pak, luar biasa,” sambil menjabat tangan Bahlil dengan bangga.
Momen itu menjadi pengingat bahwa di kota tempat ia tumbuh, Bahlil menemukan kembali bagian dari dirinya yang pernah tertinggal di masa lalu.












