Jakarta – MataIndonesia. Konflik batas wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali mencuat ke permukaan, kali ini terkait klaim atas empat pulau di pesisir barat Aceh: Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Sengketa lama yang telah berlangsung sejak dekade 1990-an ini kembali mendapat sorotan serius dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Garuda AstaCita Nusantara (GAN).
Ketua Umum DPP GAN, Muhammad Burhanuddin, menyerukan agar Presiden RI Prabowo Subianto turun langsung menangani persoalan ini. Dalam pernyataannya di Jakarta, Senin (16/6), Burhanuddin menyatakan keyakinannya bahwa Presiden akan bertindak adil dan menyelesaikan polemik ini dengan mempertimbangkan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). “Kami percaya Presiden Prabowo akan hadir dengan solusi menyeluruh yang menjaga stabilitas dan keutuhan bangsa,” tegas Burhanuddin yang juga dikenal sebagai advokat nasionalis.
Jejak Sejarah dan Kesepakatan 1992
Menurut dokumen sejarah era kolonial, keempat pulau tersebut telah tercatat sebagai bagian dari wilayah Onderafdeling Singkil di bawah administrasi Afdeeling Westkust Van Atjeh (pesisir barat selatan Aceh). Informasi serupa juga tercantum dalam arsip Bataviaasch Genootschap voor Kunsten en Wetenschappen (BGKW), yang menegaskan keterikatan historis dan geografis pulau-pulau tersebut dengan Aceh.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun, ketegangan meningkat pada tahun 1990-an ketika terjadi tumpang tindih klaim administratif antara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Daerah Istimewa Aceh. Ketegangan ini bahkan berdampak pada konflik sosial serta insiden penangkapan ikan lintas batas.
Mediasi dari Menteri Dalam Negeri saat itu, Jenderal TNI (Purn) Rudini, berhasil mempertemukan Gubernur Sumut Letjen TNI (Purn) Raja Inal Siregar dan Gubernur Aceh Prof. Dr. Ibrahim Hasan. Hasilnya, ditandatangani Surat Kesepakatan tahun 1992 yang menyatakan:
-
Keempat pulau merupakan bagian dari Kabupaten Aceh Singkil.
-
Pemerintah Sumut tidak diperkenankan mengklaim atau menerbitkan izin usaha di wilayah tersebut.
-
Kewenangan pengelolaan sumber daya alam berada sepenuhnya di tangan Aceh.
-
Kerja sama teknis antarwilayah tetap dimungkinkan.
Kesepakatan ini ditegaskan berlaku final dan sah secara administratif.
Dukungan Regulasi dan Kekuatan Hukum
Muhammad Burhanuddin menyebut bahwa kesepakatan tersebut tidak hanya sah secara politik, tetapi juga telah diperkuat oleh hukum nasional. Dalam Pasal 246 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh disebutkan bahwa batas wilayah Aceh merujuk pada ketentuan yang berlaku sebelumnya, termasuk hasil kesepakatan 1992.
Upaya hukum yang dilakukan oleh pihak Sumatera Utara pada 2013 juga kandas di Mahkamah Agung. Lewat putusan Nomor 01.P/HUM/2013, MA menolak gugatan tersebut dan mengukuhkan kedudukan hukum Aceh atas keempat pulau tersebut. Dokumen resmi penyelesaian ini kini telah tercatat di Arsip Nasional Kementerian Dalam Negeri.
Desakan GAN: Prioritaskan Keutuhan Nasional
GAN menyampaikan kekhawatiran bahwa jika polemik ini terus dibiarkan, dapat memicu ketegangan antardaerah. Untuk itu, GAN meminta pemerintah pusat bersikap tegas dan segera menyelesaikan persoalan ini melalui jalur konstitusional.
“Penyelesaian segera sangat penting demi menjaga stabilitas nasional dan mencegah konflik horizontal. Kami berharap Presiden Prabowo memimpin langsung penyelesaian ini secara adil dan berlandaskan hukum,” tutup Burhanuddin.