Jakarta – MataIndonesia. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya, telah dikeluarkan sebelum dirinya bergabung dalam Kabinet Indonesia Maju. Penegasan ini disampaikan menyusul keputusan penghentian sementara operasi tambang milik PT Gag Nikel yang tengah menjadi sorotan publik.
“Saat izin pertambangan diterbitkan, saya masih menjabat sebagai Ketua Umum HIPMI. Belum masuk kabinet,” ujar Bahlil melalui pernyataan tertulis, Jumat (6/6).
Lokasi Tambang Bukan di Ikon Wisata Piaynemo
Menanggapi kekhawatiran publik atas kerusakan kawasan wisata Raja Ampat akibat aktivitas tambang, Bahlil membantah bahwa kegiatan penambangan dilakukan di Pulau Piaynemo, salah satu ikon wisata bahari Indonesia. Menurutnya, lokasi tambang berada di Pulau Gag, sekitar 30 hingga 40 kilometer dari Piaynemo.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
“Banyak media menyebutkan tambang berada di Piaynemo, padahal itu tidak benar. Tambangnya di Pulau Gag,” ujarnya.
Bahlil menambahkan, kementeriannya memiliki tanggung jawab untuk memastikan seluruh kegiatan pertambangan mengikuti prinsip good mining practice. Oleh karena itu, keputusan penghentian sementara produksi PT Gag Nikel diambil sambil menunggu hasil verifikasi lapangan.
“Kami tidak bisa hanya mengandalkan pemberitaan. Verifikasi ke lapangan diperlukan agar keputusan berdasarkan data objektif,” tegasnya.
Komitmen Jaga Lingkungan dan Pariwisata
Bahlil menyatakan, pemerintah berkomitmen menjaga keseimbangan antara pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan kawasan konservasi serta destinasi wisata strategis, termasuk wilayah Raja Ampat yang dikenal sebagai salah satu ekosistem laut terbaik dunia.
Pembekuan sementara aktivitas tambang PT Gag Nikel mulai berlaku pada 5 Juni 2025. Langkah ini diambil setelah berbagai penolakan muncul dari kelompok aktivis lingkungan dan masyarakat sipil.
Kontroversi PT Gag Nikel dan Riwayat Operasional
PT Gag Nikel merupakan anak usaha PT Aneka Tambang Tbk (ANTAM), perusahaan milik negara yang memegang kendali penuh sejak mengakuisisi saham Asia Pacific Nickel Pty. Ltd. pada 2008. Izin usaha pertambangan perusahaan ini terbit pada 2017 dan mulai beroperasi pada 2018 setelah mengantongi dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Namun, perusahaan ini kembali disorot setelah Greenpeace Indonesia mengungkapkan bahwa setidaknya lima pulau di Raja Ampat telah terdampak eksploitasi tambang. Dalam forum Indonesia Critical Minerals Conference & Expo (3/6), Greenpeace memperingatkan bahwa eksploitasi ini mengancam kawasan yang termasuk dalam jaringan geopark global dan rumah bagi sekitar 75 persen terumbu karang terbaik dunia.
Greenpeace: Tambang Ancam Pulau-Pulau Kecil
Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Kiki Taufik, menyebut aktivitas pertambangan di pulau-pulau kecil seperti Pulau Gag, Kawe, dan Manuran melanggar UU No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Berdasarkan penelusuran Greenpeace, aktivitas tambang telah menyebabkan kerusakan lebih dari 500 hektare hutan dan memicu sedimentasi di pesisir yang membahayakan ekosistem terumbu karang.
“Raja Ampat adalah kawasan konservasi laut paling penting. Kerusakan yang terjadi bisa berdampak jangka panjang pada biodiversitas global,” ujar Kiki.
Pemerintah kini menunggu hasil verifikasi lapangan sebelum mengambil keputusan lebih lanjut terkait kelanjutan operasi tambang di wilayah tersebut.