“Tulisan ini saya susun bukan dari ruang diskusi ber-AC, tapi dari ruang pemeriksaan fisik di tengah bisingnya aktivitas tambang. Di tempat inilah saya menyimak napas yang mulai pendek, memeriksa telinga yang tak lagi peka, dan menatap wajah-wajah lelah yang menyimpan cerita jauh lebih panjang dari angka-angka medis—melainkan kisah tentang tubuh yang bertahan, harapan yang dipertaruhkan, dan diam-diam, kesehatan yang dikorbankan.”
Publik sempat dibuat terkejut dengan fakta bahwa Kabupaten Raja Ampat—ikon pariwisata dan konservasi bahari dunia—memiliki delapan Izin Usaha Pertambangan (IUP) aktif. Lokasinya memang bukan di spot wisata populer seperti Wayag atau Misool, tapi tetap berada dalam gugusan pulau yang sama, ekosistem yang saling berkelindan. Pulau Gag, Kawei, dan Manyaifun—namanya mungkin terdengar asing, tapi menyimpan realitas yang tak boleh diabaikan.
Sebagian orang mungkin melihat tambang sebagai urusan teknis dan ekonomi. Tapi bagi kami—dokter perusahaan di dunia pertambangan—tambang adalah tempat di mana tubuh diuji setiap hari. Saya sudah bekerja di industri ini sejak 2019, dan saya tahu: saat tambang masuk ke wilayah baru, peta risiko kesehatan masyarakat ikut berubah. Sayangnya, sering kali tambang datang lebih dulu daripada fasilitas kesehatan.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Saya mencatat, ada wilayah yang sudah punya jetty (dermaga tambang), tapi belum punya ambulans. Ada ratusan pekerja yang sudah beraktivitas di kawasan industri, tapi tidak satu pun paramedis standby. Bahkan, masyarakat sekitar baru sadar ada risiko kesehatan ketika mereka mulai kehilangan pendengaran, atau anak mereka sering batuk yang tak sembuh-sembuh.
Tambang bukan hanya menggali tanah. Ia menggali partikel debu halus yang bisa menyusup ke paru. Ia membangkitkan kebisingan yang konstan, bisa memengaruhi pendengaran, stres, hingga detak jantung. Ia membawa serta limbah, yang bila tidak dikendalikan, akan menyusup ke sumber air warga. WHO menyebut bahwa lebih dari 90% beban penyakit global berakar dari faktor lingkungan. ILO mengingatkan bahwa pertambangan termasuk sektor paling berbahaya terhadap keselamatan dan kesehatan kerja.
Di tempat-tempat yang saya kunjungi, saya melihat bagaimana tambang bisa menjadi berkah—jika dikelola dengan transparansi dan pendekatan multisektor. Namun saya juga melihat sisi lain: wilayah yang hanya jadi angka produksi, tapi tidak pernah menjadi angka kesejahteraan. Tidak ada yang anti terhadap pembangunan. Tapi pembangunan yang sehat harus melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat adat, akademisi, penggiat lingkungan, tokoh agama, dan tentu—tenaga kesehatan.
Izinkan saya mengusulkan: setiap proses IUP ke depan harus memuat Kajian Dampak Kesehatan yang konkret dan wajib. Tak hanya soal emisi dan tanah, tapi juga soal bagaimana tubuh-tubuh di sekitar tambang akan bertahan 10–20 tahun ke depan. Apa manfaat kesehatan yang ditinggalkan, bukan sekadar mineral yang diangkut.
Raja Ampat bukan sekadar gugusan pulau, tapi juga rumah sosial yang penuh narasi. Masyarakat di pulau-pulau kecil itu hidup dari laut, dari kebun, dari relasi adat yang sudah berabad-abad. Ketika tambang masuk, relasi ini terguncang. Tiba-tiba, orang-orang muda yang dulunya menjaga terumbu, justru jadi penjaga alat berat. Ketika struktur sosial bergeser lebih cepat daripada kesiapan adaptasi, maka tekanan psikis muncul diam-diam—dari kecemasan ekonomi hingga kehilangan makna hidup yang dulu tertambat pada alam.
Ekonomi memang sering dijadikan alasan utama ekspansi industri. Tapi apakah seluruh masyarakat akan menikmati hasilnya? Atau hanya segelintir yang mendapat pekerjaan, sementara yang lain kehilangan akses tanah, laut, dan ruang hidup? Biaya kesehatan—baik langsung maupun tidak langsung—jarang masuk dalam neraca ekonomi tambang. Padahal, satu kasus ISPA kronis atau stunting akibat pencemaran bisa lebih mahal dari harga nikel yang diangkut tiap harinya.
Dari perspektif budaya kesehatan, intervensi tambang tak bisa dipaksakan dengan model satu arah. Ada nilai-nilai lokal yang memandang tubuh, sakit, dan sembuh secara kolektif, bukan hanya medis. Jika pekerja mengalami keluhan fisik, bisa jadi itu juga cerminan kegelisahan sosial. Itulah kenapa strategi mitigasi kesehatan di wilayah tambang harus memadukan pendekatan medis dan pendekatan antropologis.
Kalau Raja Ampat selama ini kita agungkan sebagai laboratorium konservasi, maka seharusnya pendekatan tambang juga menjadi laboratorium keadilan sosial-ekologis. Karena sejatinya, membangun tambang di tanah yang sakral tak cukup hanya dengan alat berat, tapi juga dengan niat yang berat—untuk benar-benar merawat kehidupan yang lebih utuh: tubuh, budaya, dan bumi itu sendiri.
Saya bukan anti-tambang. Tapi saya percaya bahwa tambang yang baik harus bisa menjawab satu pertanyaan mendasar: Apakah masyarakat di sekitarnya menjadi lebih sehat? Jika jawabannya belum, maka izinnya belum layak. Karena tambang seharusnya tidak hanya menggali mineral, tapi juga menggali kebaikan yang merata bagi semua yang hidup di sekitarnya.
Oleh: dr Fauzul Azhim MKK
Alumni Pascasarjana Universitas Indonesia