US – MataIndonesia. Ketegangan geopolitik antara Amerika Serikat dan China kembali memanas, kali ini menyasar dunia pendidikan tinggi. Mahasiswa asal China di Harvard University kini menghadapi masa depan yang tidak pasti setelah pemerintah AS di bawah Presiden Donald Trump mengeluarkan larangan penerimaan mahasiswa asing oleh Harvard, dengan alasan adanya dugaan kerja sama dengan Partai Komunis Tiongkok (PKT).
Kebijakan kontroversial yang diumumkan pada Kamis (22/5/2025) itu segera memicu kekhawatiran di kalangan mahasiswa internasional, khususnya warga negara China. Salah satu mahasiswa doktoral fisika berusia 24 tahun yang enggan disebutkan namanya mengaku membatalkan rencana pulang kampung demi mengamankan status hukumnya di AS. Ia bahkan menerima saran dari rekan-rekannya untuk menghindari apartemennya jika situasi memburuk karena kemungkinan razia dari Imigrasi dan Bea Cukai.
“Komunitas mahasiswa China benar-benar merasa seperti target dari kebijakan ini,” ungkapnya.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Universitas Harvard sendiri mengecam larangan tersebut sebagai keputusan yang melanggar hukum. Dalam pernyataan resminya, pihak kampus menegaskan komitmennya untuk tetap menerima dan melindungi mahasiswa asing, yang jumlah terbesarnya berasal dari China.
Krisis ini tak hanya berdampak psikologis, tetapi juga mengguncang rencana studi dan karier banyak mahasiswa. Zhang Kaiqi, mahasiswa magister kesehatan masyarakat, sempat mempersiapkan diri untuk pulang ke China, namun membatalkan penerbangannya yang mahal usai mendengar kabar larangan. Ia juga kehilangan kesempatan magang di lembaga nonprofit AS sebagai akibat langsung kebijakan ini.
“Awalnya saya kira itu hanya hoaks. Tapi saat semuanya dikonfirmasi, saya merasa sedih dan marah,” ujarnya.
Beberapa mahasiswa dilaporkan membentuk grup WhatsApp darurat untuk berbagi informasi dan nasihat hukum, termasuk saran dari pengacara imigrasi agar tidak meninggalkan wilayah AS atau bahkan menggunakan penerbangan domestik. Kekhawatiran meningkat karena status visa mereka sangat bergantung pada keberadaan fisik mereka di kampus, terlebih bagi mahasiswa yang tengah menjalani riset musim panas—pengalaman penting bagi aplikasi program doktoral.
Pemerintah AS menyatakan larangan itu sebagai respons atas penolakan Harvard menyerahkan data visa mahasiswa asing. Washington mengindikasikan bahwa larangan tersebut dapat dicabut jika Harvard bersedia bekerja sama.
Menanggapi situasi ini, Pemerintah China mengecam keras kebijakan AS, menyebutnya sebagai tindakan yang merusak citra internasional negara tersebut. Kementerian Luar Negeri China menegaskan komitmen mereka untuk membela hak-hak warganya yang menempuh pendidikan di luar negeri. Selama dua dekade terakhir, banyak anak elite politik China, termasuk putri Presiden Xi Jinping, diketahui menempuh studi di Harvard.
Di tengah ketidakpastian ini, universitas di negara berbahasa Inggris lain mulai mengambil langkah cepat. Universitas Sains dan Teknologi Hong Kong, misalnya, menawarkan proses penerimaan cepat dan dukungan akademis bagi mahasiswa yang terdampak larangan tersebut.
Menurut data Harvard, pada 2024 terdapat sekitar 277.000 mahasiswa China di AS—angka yang telah menurun drastis dari puncaknya 370.000 pada 2019. Penurunan ini tidak lepas dari meningkatnya pengawasan serta ketegangan politik yang semakin tajam antara Washington dan Beijing.
Teresa, mahasiswa pascasarjana di Harvard Kennedy School, menggambarkan situasi ini dengan sebutan “Pengungsi Harvard” di media sosial Xiaohongshu. Ia menyampaikan bahwa dosen-dosen telah mengabarkan kemungkinan tanggapan resmi dari pihak universitas dalam waktu 72 jam mendatang, termasuk upaya hukum untuk menggugat keputusan pemerintah.
Sementara itu, Zhao (23), mahasiswa baru program magister, mengaku bimbang antara menunda studi selama setahun atau berpindah kampus jika situasi tak kunjung membaik.
“Ini benar-benar mengacaukan rencana hidup saya. Saya sudah menjadwalkan pengajuan visa awal Juni, tapi sekarang saya tak tahu harus berbuat apa,” ujarnya penuh kegelisahan.
Dengan meningkatnya ketegangan dan dampak kebijakan yang meluas, larangan ini dinilai berpotensi mempercepat eksodus mahasiswa China dari AS ke negara-negara alternatif seperti Australia dan Singapura. Pakar pendidikan Pippa Ebel menyebut keputusan ini sebagai “sinyal kuat” bagi keluarga-keluarga di China untuk mempertimbangkan pilihan pendidikan yang lebih stabil dan ramah internasional di luar AS.