MENUNGGU HARI-HARI KESENGSARAAN
Oleh : Agus Wahid
Detik demi detik, bayang-bayang kesengsaraan bukan hanya menampak, tapi telah datang dan mulai dirasakan. Itulah suasana batiniah Jokowi yang sulit dibantah, meski rona wajah masih senyum. Tak bisa dikibuli. Publik di seluruh Tanah Air ini sedang menonton body language di rumah kaca sang “Raja Cacing” yang sedang menggeliat bahkan mulai meronta-ronta karena kepanasan. Mantan penguasa sepuluh tahun negeri ini lagi benar-benar gusar. Menjerit, meski tak bersuara.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Why? Karena negara dan sebagian rakyat sedang mempropses hukuman yang layak bagi manusia biadab itu. Negeri ini hancur secara ekonomi, politik bahkan HAM di bawah kepempimpin manusia stupid bin foolish itu. Konstitusi diterabas tanpa batas. Hanya untuk mempermulus jalan dan ambisi pribadinya dan demi keluarganya (dinasti).
Kini, proses hukuman itu mulai mendera. Beberapa hari lalu, pemecatan Letjen Kunto, putra mantan Jend. Trisutrisno dibatalkan. Perintah Panglima TNI, sang cecunguk Jokowi dianulir Prabowo dengan penuh kemarahan. Status proyek strategis nasional (PSN) daerah Rempang (Riau) dicabut. Tak tertutup kemungkinan, akan segera tercabut status PSN Pantai Indah Kapuk (PIK) II.
Bahkan, hari-hari sebelumnya, ketika Jokowi mengundang para pati Polri langsung mendapat sorotan tajam. Akademisi kenamaan Kandidat Doktor Fery Amsari menilai, Jokowi TAK BERADAB. Jelas-jelas merusak sistem ketatanegaraan. Sebelumnya lagi – saat sejumlah manteri soan ke kediaman Jokowi di Solo usai hari lebaran – dinilai sebagai upaya membangun dua matahari. SBY pun mengomentari, “tak boleh ada matahari kembar”. Memunculkan banyak spekulasi negatif. Berbahaya bagi negara dan rakyat.
Kini, sejumlah aksi massif sedang memproses ijazah Jokowi. Pendekatan yang diambil dengan melandaskan basis saintifik, yang mencermati performa ijazah UGM yang diklaim asli. Basis pengujian secara saintifik dari berbagai aspek yang menempel langsung pada kertas ijazah seperti foto ijazah, nomor ijazah, tanda tangan yang tertera di ijazah. Juga, ditelisik data historis perkuliahan (bukti daftar nama Joko Widodo diterima UGM – Fakultas Kehutanan melalui test Sipenmaru Perintasi I tahun 1980), bukti pembayaran kuliah, lembar akademik perkuliahan per smester, sampai wujud skripsi yang menggunakan jenis huruf Times New Roman yang belum dikenal pada era 1985 hingga 1990). Dalam skripsinya juga dieprsoalkan pembimbingnya, yang kala itu baru berusia 36 tahun. Tidak lazim dalam sistem akademik di UGM dalam konteks oembimbing skipsi. Semua itu tidak match dengan bukti yang terverifikasi secara saintifik.
Selama ini Jokowi melakukan playing the victim. Membiarkan dirinya ditempatkan sebagai korban fitnah. Juga, membiarkan para pihak terus mencari keasilan ijazah UGM Jokowi. Hebatnya lagi, Jokowi – dengan pengaruh yang ada di tangannya – menggerakkan ansir elit UGM sebagai bemper, mulai dari level rektor sampai ke sejumlah jajaran terkait. Luar biasa pemain watak seorang Jokowi, sekaligus menjadi “dalang” tingkat tinggi, atau penulis skenario yang wow… Seluruh penulis skenario film harus belajar pada Jokowi. Hehehe.
Namun, sepandai-pandai tupai melompat, pasti akan jatuh. Tunggu saatnya. Sunnatullah. Hal ini pun akan berlaku bagi Jokowi. Melalui gerakan civil society yang terus mendesak ke berbagai arah, termasuk berusaha menyadarkan internal UGM, akan tiba suatu masa terbukanya tabir kepalsuan yang ngaku lulusan UGM, Fakultas Kehutanan, Jurusan Teknologi Kayu pada tahun 1985.
Gejala sunnatullah sedang berjalan, ketika akhirnya Jokowi tergerak untuk memproses hukum melalui lembaga peradilan. Dirinya menggugat tuduhan para pihak. Meski yang dituduhkan pasal pencemaran nama baik, tapi substansi masalahnya pada ketidakjelasan keasilan ijazah. Karena itu, substansi inilah yang akan berkembang ekstra keras di lembaga peradilan. Sebab, selaku penggugat, Jokowi dan atau para pengacaranya harus menyanggah dengan cara menunjukkan ijazah aslinya. Inilah mekanisme yang mengarah pada sunnatullah itu.
Kini, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tempat Jokowi mengadukan perkaranya, dipertaruhkan marwah dan integritasnya. Apakah para hakim PN Jakarta Pusat akan tetap tercengkeram di bawah pengaruh “sang raja cacing” itu, padahal dia tak lagi sebagai Presiden RI. Mereka haruslah sadar dan cerdas, negeri ini kini Perabowo presidennya, apapun cacat hukum prosesnya menuju singgasana.
Dengan kesadaran dan kecedasan, para hakim (ketua dan anggota) yang akan mengadili kasus pencemaran nama baik haruslah mampu menunjukkan independensinya, bahkan profesionalitas dan integritasnya. Bagaimanapun, substansi perkara masalah ijazah Jokowi yang diduga palsu itu. Persoalan pencemaran nama baik hanya akibat dari ketidakmauan Jokowi menunjukkan ijazahnya secara terbuka. Maka, para hakim tersebut haruslah kembali ke pada “khittah” (profesional dan berintergitas). Sikap ini tak selayaknya hanya menjadi slogan. Negara dan rakyat perlu bukti kinerja yang bermakna penegakan keadilan pro kebenaran sejati.
Satu variabel penting, yaitu keberpihakan Perabowo pro keadilan, kebenaran dan rakyat. Atas nama negara, bahkan keselamatan diri dan kekuasaannya, Prabowo harus berpihak pada komitmen tegaknya keadilan dan kebenaran itu. Bukan omon-omon klise. Saat ini, Prabowo sedang dipertaruhkan jatidirinya, bahkan masa depan politiknya. Tentu tak boleh main-main. Prajurit sejati akan selalu ingat dan setia sumpah Sapta Marganya. Juga, sadar muasalnya: dari, oleh dan untuk rakyat. Kesadaran yang tak boleh hanya di bibir. Hati nuraninya harus seirng dengan bibirnya.
BAYANG-BAYANG KESENGSARAAN
Ketika proses hukum berjalan sesuai relnya, akan terkuak tabir kepalsuan ijazah UGM Jokowi. Diawali data kepalsuan ijazah UGM, akan merambah ke problem ijazah SMA 6 Solo, bahkan ijazah SMP-nya. Yang menarik adalah dampak kontigion dari kepastian hukum ilegalitas ijazah-ijazah Jokowi itu.
Yang pertama dan utama adalah kemarahan puncak rakyat bahkan diri Prabowo yang pernah dipecundangi secara sistematis dan terencana. Tak bisa dibayangkan kemarahan itu. Inilah babak awal kesengsaraan. Karena, penjara yang mengerikan sudah menantinya. Suasana penjara pun selalu dalam sorotan publik. Maka, Jokowi tak akan bisa “cingcei” dengan para oknum lembaga pemasyarakatan (lapas).
Yang kedua, keterbuktian ijazah palsu Jokowi akan memperkuat gerakan untuk menggoyang puteranya: Gibran. Posisinya sebagai Wakil Presiden saat ini bukan hanya digugat atas nama proses hukum MK yang cacat secara hukum, tapi digoyang atas nama ketidakmampuan yang sangat tidak layak. Hal ini yang kita saksikan pada gerakan para purnawairawan TNI-POLRI. Meski proses politik pemiluhan presiden-wakil presiden sudah selesai dan sah menurut Mahkamah Konstitusi, namun moralitas hukum jauh di atas prinsip prosedural. Moralitas yang dikumandangkan rakyat haruslah menjadi acuan yang konstitusional.
Keruntuhan Gibran akan menjadi malapetaka yang sangat ditakuti Jokowi sekeluarga. Di depan mata, politik dinasti yang dibangun Jokowi-Iriana akan runtuh dalam waktu singkat. Kaesang Pangarep juga akan terdepak dari posisi puncaknya di Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Perubahan peta politik keluarga ini benar-benar menjadi neraka baru bagi Jokowi. Dan itulah kesengsaraan yang kini dirasakan di dunia. Belum bicara kondisi di alam akhir nanti, yang – jika tak bertaubat – pasti jauh lebih mengerikan. Tak bisa disepadankan dengan alam dunia.
Dan kesengsaraan itu – sebagai hal ketiga – akan jauh lebih sengsara. Why? Karena seluruh kejahatannya akan dibongkar. Dari sisi ekonomi, kasus illegal export nikel sekitar 5.000000 metrik ton yang pernah dikuandangkan Faisal Basri (alm) akan dikuak. Megakorupsi di kandang Pertamina juga – pada akhirnya – akan terkuak, sementara, at least menurut Ahok – Jokowi sesungguhnya terlibat. Dan kasus impor gula yang kini Tom Lembong sedang dijadikan “kambing hitam”, juga pada akhirnya akan terkuak siapa dalangnya. Yang jelas – menurut kesaksian Tom Lembong – seluruh hasil transaksi impor gula masuk ke rekening Kaesang.
Itu baru sektor ekonomi yang mengemuka di ranah publik. Belum kejahatan-kejahatan ekonomi lainnya yang masih ada di ruang tertutup, sehingga OCCRP (Organized Crime and Corruption Reporting Project) menempatkan Jokowi tercatat sebagau finalis terkorup kedua dunia. Sungguh fantastic posisinya.
Bagaiman dengan sektor HAM, yang telah mengkriminalisasi sampai pencabutan nyawa secara paksa terhadap sejumlah warga negara? Kasus pembantaian 6 laskar FPI pada 7 Desember 2020 dinihari (sekitar jam 01:30) di Km. 50 Toll Cawang – Cikampek, hal itu pada akhirnya juga akan terkuak. Belum sederet kriminalisasi yang dilakukan terhadap para oposan.
Akhirnya, kita bisa membaca, Jokowi sejatinya lagi menunggu hari-hari yang sangat menyengsarakan. Kejahatan politik, ekonomi dan kejahatan kemanusiaan serta penipuan akademik yang dilakukan kini akan menjadi bumerang yang menyayat kehidupannya di balik jeruji besi. Kiranya, seluruh keluarganya – termasuk Bobo Nasution – layak disatukan dalam satu kamar. Agar saling pandang dan meratapi. Bahkan, cakar-cakaran karena saling menyalahkan.
Wahai Wie Yo Koh bin Oei Hong Liong-Sulami, kedua orang tua yang telah terkonfirmasi kader tulen PKI. Selamat menunggu hari-hari yang sangat menyengsarakan. Persis yang kau lakukan terhadap bangsa dan negeri ini secara biadab. Sebuah potret kebiadaban yang biasa dilakukan komunis. Dapat dipahami. Itulah karakternya.
Bekasi, 4 Mei 2025
Penulis: aktivis UI Watch PLUS