Jakarta-MataIndonesia. Menyambut 97 tahun Sumpah Pemuda, Sekretaris Jenderal Palpasi Indonesia, Yulinar Havsa Pasaribu, S.H., M.H., menegaskan pendidikan sebagai jalan strategis menuju kemerdekaan pikiran dan pemerataan kesempatan. “Sumpah Pemuda adalah mandat peradaban bagi generasi bangsa untuk meraih kemerdekaan sejati melalui ilmu pengetahuan,” ujarnya dalam refleksi terbarunya.
Yulinar menilai sejarah pergerakan menunjukkan peran sentral kaum muda mulai dari kelas, asrama, hingga rapat-rapat kecil sebagai “bengkel gagasan” yang mengantar lompatan dari etnisitas menuju kebangsaan. Ia bahkan mengingatkan kembali catatan Mohammad Hatta tentang pelajar-mahasiswa yang “tidak tinggal diam” menanam cita-cita persatuan.
Dalam kerangka nilai, Yulinar mengutip Ki Hadjar Dewantara: “Ing ngarsa sung tulada… ing madya mangun karsa… tut wuri handayani”, seraya menekankan bahwa pendidikan bukan hanya mobilitas sosial, melainkan medium pembebasan nalar, martabat, dan kemandirian.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Tiga Program, Satu Arah
Palpasi memotret tiga inisiatif utama pemerintah. Makan Bergizi Gratis (MBG), Sekolah Rakyat, dan Sekolah Garuda. Menurut Yulinar, MBG adalah investasi paling mendasar dengan semangat “membangun otak sebelum kurikulum.” “Anak yang gizinya terpenuhi akan memiliki konsentrasi dan kapasitas belajar yang optimal,” katanya.
Sementara Sekolah Garuda diposisikan sebagai inkubator kepemimpinan berwawasan global, Sekolah Rakyat di 3T (terdepan, terluar, tertinggal) diarahkan untuk memastikan keadilan mutu, sehingga keunggulan dan kesetaraan berjalan beriring.
Titik Rawan Implementasi
Yulinar mengingatkan tantangan logistik program gizi di wilayah 3T, mulai dari standar kualitas hingga keberlanjutan pasokan yang membutuhkan pengawasan higiene ketat agar tak justru memunculkan masalah kesehatan baru atau membebani anggaran daerah.
Ia juga menekankan pekerjaan rumah terbesar adalah disparitas kualitas guru. “Bangunan baru dan label ‘unggulan’ tak berarti bila guru tak mendapat pelatihan dan dukungan memadai,” kata Yulinar, sembari mengingatkan perlunya menghindari jebakan “elitisme pendidikan” dalam pengembangan Sekolah Garuda.
Ukur Dampak, Bukan Seremoni
Keberhasilan kebijakan, ucap Yulinar, sebaiknya diukur dari perbaikan status gizi anak serta lonjakan hasil belajar yang merata dari Sabang hingga Merauke, alih-alih semata serapan anggaran atau jumlah gedung baru.
Menutup pernyataannya, Yulinar mengajak seluruh pemangku kepentingan mulai dari pemerintah, sekolah, orang tua, dan masyarakat sipil untuk mengonversi niat baik menjadi dampak nyata. “Wujudkan niat baik itu,” tandasnya.












