MATAINDONESIA.CO.ID, JAKARTA – Rentetan banjir bandang dan longsor yang melanda Aceh hingga sejumlah wilayah di Sumatra memunculkan pertanyaan besar tentang apa yang sebenarnya terjadi. Menjawab hal itu, Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) merilis temuan komprehensif yang menguraikan faktor-faktor dominan pemicu bencana, sekaligus memberikan gambaran lebih jelas mengenai kondisi kerentanan geologi di daerah terdampak.
Plt. Kepala Badan Geologi, Lana Saria, menjelaskan bahwa bencana di Humbang Hasundutan, Agam, Mandailing Natal, Gayo Lues, dan Aceh Tenggara tidak berdiri sendiri. Curah hujan tinggi hingga ekstrem yang terjadi dalam beberapa hari terakhir menjadi pemicu utama yang mempercepat proses longsor dan banjir bandang di wilayah dengan bentang alam rentan.
“Wilayah-wilayah ini memiliki kombinasi yang sangat berisiko,” ungkapnya. Geomorfologi perbukitan yang curam hingga sangat curam, serta litologi yang lapuk dan mudah tererosi, memperbesar kemungkinan terjadinya gerakan tanah ketika diguyur hujan ekstrem. Kerentanan ini, kata Lana, membuat kondisi tanah cepat jenuh air, kehilangan kekuatan, dan akhirnya runtuh.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Ia menekankan pentingnya memperkuat kapasitas masyarakat desa rawan bencana melalui langkah-langkah sederhana namun vital. “Identifikasi tanda awal longsor, penyusunan jalur evakuasi, dan revitalisasi vegetasi lereng harus menjadi pondasi pencegahan di tingkat tapak,” jelasnya. Selain itu, pengendalian tata guna lahan—khususnya pada lereng curam—serta pembatasan pembukaan lahan dan perbaikan drainase permukaan menjadi langkah struktural yang tak bisa ditunda.
Di Sumatra Utara, dua kabupaten yang terdampak longsor umumnya berada di kawasan perbukitan curam yang mengelilingi Kota Sibolga, terutama pada sisi timur–selatan. Berdasarkan Peta Zona Kerentanan Gerakan Tanah, wilayah ini berada pada kategori menengah hingga tinggi, artinya rentan mengalami gerakan tanah, baik dipicu intensitas hujan maupun perubahan penggunaan lahan.
Peringatan serupa disampaikan BMKG. Kepala BMKG, Teuku Faisal Fathani, mengungkapkan adanya perkembangan signifikan dari Bibit Siklon Tropis 95B yang sejak 21 November 2025 terdeteksi di perairan timur Aceh dan Selat Malaka. Bibit siklon ini, menurut analisis BMKG, memperkuat potensi hujan lebat hingga ekstrem disertai angin kencang di Aceh, Sumatra Utara, Sumatra Barat, Riau, dan wilayah sekitarnya.
“Masyarakat di wilayah terdampak perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap cuaca ekstrem yang dipicu 95B,” ujar Faisal. Ia menambahkan bahwa BMKG terus memantau perkembangan bibit siklon tersebut dan berkoordinasi dengan para pemangku kepentingan untuk memastikan langkah mitigasi berjalan optimal.
Tidak hanya itu, BMKG juga mendeteksi keberadaan Mesoscale Convective Complex (MCC) di Samudra Hindia bagian barat Sumatra—sebuah sistem badai petir berskala besar yang dapat menghasilkan hujan sangat deras dalam durasi panjang, angin kencang, hingga hujan es. Kondisi ini berpotensi memicu bencana susulan, terutama di Mandailing Natal, Sumatra Utara, dan sebagian besar wilayah Sumatra Barat.
Rangkaian analisis dari Badan Geologi dan BMKG mempertegas bahwa bencana di Sumatra bukan sekadar kejadian alam semata, melainkan hasil interaksi kompleks antara cuaca ekstrem dan karakteristik geologi wilayah. Dengan ancaman cuaca yang masih berkembang, upaya mitigasi harus diperkuat mulai dari tingkat masyarakat hingga pemerintah daerah.
Penguatan literasi bencana, penataan ulang tata guna lahan, pemeliharaan drainase, serta respons cepat ketika muncul tanda-tanda longsor menjadi kunci untuk mengurangi ancaman di masa depan.
Badan Geologi dan BMKG menegaskan bahwa kesiapsiagaan kolektif adalah satu-satunya cara untuk meminimalkan dampak berulang di wilayah dengan kerentanan tinggi seperti Sumatra.












