Jakarta – MataIndonesia. Setelah dua pekan ketegangan militer yang nyaris mengguncang Timur Tengah, Israel dan Iran akhirnya menyepakati gencatan senjata yang rapuh namun krusial. Konflik yang dijuluki “Perang 12 Hari” oleh mantan Presiden AS Donald Trump ini kini dinyatakan berakhir—setidaknya untuk sementara waktu. Meskipun senjata untuk saat ini telah dibungkam, narasi atas siapa yang memenangkan perang opini terus berlanjut. Baik Trump, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, maupun Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei, mengklaim bahwa inisiatif gencatan senjata muncul atas kehendak dan peran mereka masing-masing.
Namun, pertanyaan kunci tetap menggantung: Apa yang sebenarnya dicapai dalam 12 hari konflik ini? Apakah gencatan senjata ini membuka jalan menuju perdamaian yang lebih berkelanjutan? Atau justru sekadar jeda taktis sebelum bentrokan berikutnya dimulai?
Trump, Sang Orkestrator?
Sabtu malam, dalam eskalasi yang dramatis, Amerika Serikat atas permintaan Israel menyerang fasilitas nuklir Iran di Fordow, Natanz, dan Isfahan. Trump menyebut operasi itu “sukses total” dan mengklaim telah menghancurkan target strategis utama. Iran pun merespons keras, meluncurkan rudal ke pangkalan militer AS di Al Udeid, Qatar. Ketegangan di kawasan pun seketika memuncak.
ADVERTISEMENT

SCROLL TO RESUME CONTENT
Namun hanya dalam hitungan jam, Trump mengumumkan di platform Truth Social miliknya bahwa kesepakatan gencatan senjata total telah dicapai antara Israel dan Iran. “Perang 12 Hari” yang ia klaim bisa berlangsung bertahun-tahun berhasil dihentikan. Namun, hanya beberapa jam setelah pengumuman itu, Israel justru melancarkan serangan balasan ke radar Iran di Teheran dengan dalih mencegat dua rudal balistik yang diklaim berasal dari Iran. Serangan ini memicu kemarahan Trump. “Saya benar-benar kecewa Israel melancarkan serangan pagi ini,” katanya kepada pers.
Gencatan senjata kembali diberlakukan pukul 11:30 GMT setelah Trump menghubungi Netanyahu. Ia menegaskan bahwa Israel akan menarik seluruh pesawat tempur dan tidak akan melanjutkan serangan. “Pesawat kembali dengan ‘gelombang damai’ ke arah Iran. Gencatan senjata berlaku!” tulisnya.
Netanyahu dan Strategi Pencegahan Nuklir
Israel selama ini menyebut Iran sebagai ancaman eksistensial utama, namun baru kali ini secara terang-terangan menyerang infrastruktur nuklirnya. Serangan pada 13 Juni terhadap fasilitas Natanz dan Isfahan menandai pergeseran strategi militer Israel. Menurut Netanyahu, serangan ini adalah bentuk aksi pencegahan terhadap ancaman nuklir yang diyakini sedang dikembangkan oleh Iran.
Netanyahu juga mengklaim keberhasilan diplomatik: membujuk AS untuk melakukan intervensi langsung. Ini adalah pencapaian penting bagi Israel, mengingat dalam konflik besar sebelumnya (1967 dan 1973), AS hanya memberi bantuan logistik tanpa terlibat langsung dalam operasi militer.
Serangan ini juga merupakan kelanjutan dari strategi Israel melemahkan sekutu regional Iran—seperti Houthi, Hamas, dan Hizbullah—yang diklaim sudah mengalami degradasi kekuatan dalam dua tahun terakhir.
Iran dan Upaya Menjaga Program Nuklir
Meski mengalami kerusakan infrastruktur, Iran menegaskan bahwa program nuklirnya tetap berjalan. Meski AS mengklaim telah menghancurkan fasilitas bawah tanah, belum ada verifikasi independen atas tingkat kerusakan aktual. Rafael Grossi, Direktur Jenderal IAEA, menyatakan bahwa tidak ada pihak yang bisa memastikan dampak kerusakan hingga inspeksi lapangan dilakukan.
Sementara itu, keberadaan 400 kilogram uranium yang sangat diperkaya milik Iran masih menjadi misteri. Kepala Badan Energi Atom Iran, Mohammad Eslami, menegaskan bahwa pemulihan fasilitas telah direncanakan jauh hari dan produksi tidak akan terganggu.
Iran juga membantah keterlibatannya dalam peluncuran dua rudal balistik yang menjadi alasan Israel melanggar gencatan senjata. Hal ini memunculkan dugaan adanya kesalahan teknis atau pihak ketiga yang tidak teridentifikasi, mengingat sejarah Iran pernah secara tidak sengaja menembak jatuh pesawat sipil Ukraina pada 2021.
Jalan Menuju Perdamaian atau Sekadar Rehat Taktis?
Saat ini, gencatan senjata hanyalah kesepakatan non-perang, bukan perdamaian formal. Ketegangan tetap mengemuka, terutama terkait kelanjutan program nuklir Iran. Para pakar menilai dua skenario paling memungkinkan: pengawasan ketat kembali oleh IAEA serta perjanjian nuklir baru yang menyerupai JCPOA 2015. Namun, kepercayaan yang rapuh menjadi penghalang utama.
Eropa, terutama Inggris, Prancis, dan Jerman, kini dianggap sebagai pihak penengah paling potensial. Mereka telah mengadakan pertemuan dengan Iran untuk mendorong diplomasi damai, meski gagal mencegah serangan AS. Ketidakhadiran Rusia sebagai sekutu efektif membuat Iran lebih bergantung pada pendekatan Eropa.
“Iran kemungkinan besar akan menggandeng Eropa untuk menyusun ulang pengawasan dan komitmen nuklirnya,” ujar Ioannis Kotoulas, pakar geopolitik dari Universitas Athena. Ia juga menilai AS tidak akan memaksakan perubahan rezim, melainkan lebih menekan dari sisi program nuklir.
Namun, dengan Israel yang secara historis menentang setiap kesepakatan nuklir dengan Iran dan Amerika Serikat yang secara tiba-tiba bergabung dalam serangan saat negosiasi sedang berlangsung, kepercayaan Iran tampak sangat tipis.
Perdamaian atau Awal Babak Baru?
Meski konflik bersenjata mereda, ketegangan geopolitik masih membara. Iran belum menunjukkan tanda-tanda menyerah atas program nuklirnya. Bahkan, parlemen Iran tengah mempertimbangkan RUU yang akan menghentikan seluruh kerja sama dengan IAEA. Sementara itu, Trump menegaskan tidak akan membiarkan Iran melanjutkan pengayaan uranium.
Dengan dasar ketidakpercayaan yang masih sangat kuat, gencatan senjata ini lebih tampak sebagai “jeda strategis” daripada awal dari era damai. Putaran konflik berikutnya bisa jadi hanya menunggu waktu.